Jembatan Ampera



Pembangunan jembatan yg menghubungkan antara daratan seberang ilir dgn daratan seberang ulu di kota Palembang ini mulai dikerjakan pd bulan April tahun 1962.

Ini adalah proyek kompensasi Jepang terhadap pemerintah Indonesia atau yg sering kita dengar sebagai 'rampasan perang jepang'. Tak hanya berupa pembiayaan, bahkan tenaga ahli pembuat jembatan pun di datangkan langsung dari negeri sakura itu.

Pembangunan jembatan memakan waktu selama 3 tahun. Dan pd tahun 1965 akhirnya jembatan selesai dibangun.
Selanjutnya jembatan diberi nama jembatan Bung Karno atau jembatan Soekarno.

Tahun 1966 nama jembatan akhirnya dirubah menjadi jembatan AMPERA yg merupakan kepanjangan dari Amanat Penderitaan Rakyat.

Jembatan Ampera memiliki total panjang 1.117 meter dan lebar 22 meter, bagian tengah jembatan sepanjang 72 meter dirancang untuk bisa naik turun diantara kedua menaranya, dan tinggi masing2 menara adalah 63 meter.
Gunanya supaya kapal besar tetap bisa melewati bawah jembatan ketika air sungai sedang pasang.
Mekanisme ini bisa terjadi karena peralatan pengangkatnya yang memakai sistem katrol yg terdapat di kedua menara jembatan, dengan pemberat berupa bandul persegi yg konon berbobot masing masing 500 ton.


Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit bagi jembatan untuk terangkat secara penuh pd bagian tengah jembatan, agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan.
Ukuran maksimum kapal yang dapat melewati bawah jembatan ampera adalah lebar 60 meter dan tinggi 45 meter. Jika bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, maka tinggi kapal yang bisa melewati di bawah jembatan Ampera hanyalah 10 meter dari permukaan air sungai.

Sayangnya, aktivitas turun naik jembatan Ampera ini hanya berlangsung selama kurang lebih 5 tahun, tahun 1970 krn alasan waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan yang berlangsung sekitar 30 menit dianggap mengganggu arus lalu lintas diatas jembatan, akhirnya kegiatan 'naik turun' ini tdk pernah difungsikan lg.
Tahun 1981 jembatan ampera pernah direnovasi, dengan menghabiskan dana sekitar 850 juta rupiah. Hal ini dilakukan setelah munculnya kekhawatiran akan ancaman kerusakan jembatan yg dpt mengakibatkan ambruk!

Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan. Pd saat awal berdirinya, jembatan dicat dgn warna abu-abu, lalu di tahun 1992 di ganti dgn warna kuning, dan yg terakhir di tahun 2002 diganti lg menjadi warna merah sampai dgn sekarang.

Di tahun 2014 ini, jembatan Ampera kembali berhias diri, perawatan rutin dan pengecatan yang konon menghabiskan dana sebesar 12 miliar rupiah ini msh tetap menggunakan warna merah pada bagian atas dan warna krem abu abu pd bagian pondasinya.
Cat yg dipergunakan jg di klaim sebagai cat bermutu tinggi yang dpt bertahan selama 20 tahun kedepan.

Namun tetap saja fasilitas penting ini sdh uzur termakan waktu, dgn beban aktifitas yg berlangsung diatasnya sdh sedemikian padatnya.



Maka wajarlah kalau banyak kalangan yg menghawatirkan keadaan ini. Supaya beban jembatan bersejarah ini menjadi berkurang, maka  dibuatlah jembatan2 baru yg menghubungkan antara Ulu dan Ilir.

Seperti jembatan Musi 2, Musi 4 dan Musi 6. Dengan upaya ini diharapkan ikon monumental kota Palembang dapat bertahan lebih lama untuk tetap berdiri tegak ditengah2 kota metropolis ini.

Demikianlah sejarah jembatan ampera kita tercinta ini.

Terima kasih.

Postingan populer dari blog ini

Masjid Agung Palembang

Pulau Kemarau (Kemaro)